Akan menjadi apakah seseorang kelak, sebagian besar ditentukan oleh kehidupannya pada masa kecil.
Perjalanan hidup seorang manusia merupakan taqdir yang telah ditentukan Allah SWT. Pengalaman hidup sejak lahir hingga akhir hayat merupakan taqdir yang tersusun, yang mana seringkali satu hal menjadi sebab hal lain, yang keseluruhannya menjadi untaian suka duka kehidupan. Namun sesungguhnya Allah yang memberi petunjuk, telah mengilhamkan kepada jiwa (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(QS Asy-Syams : 8-10)
Rasulullah Muhammad SAW adalah manusia paling mulia didunia ini. Kepribadian dan kepemimpinannya menjadi panutan sepanjang zaman, menghasilkan ribuan, jutaan buku untuk mencatat dan mengkajinya, meneteskan air mata umat yang mencintainya, dan kerinduan terbesar umat yang mengikuti tuntunannya. Namun kehidupan apa yang dilaluinya semasa kecil kehilangan ayah dan ibu disaat semestinya seorang anak sedang bermanja. Ternyata kasih sayang dan tuntunan beliau dapatkan langsung dari Allah melalui iradah Allah kepada keluarga besarnya.
Allahu Akbar…
Bentuk-bentuk perjuangan seperti itu ternyata dapat kita amati dikehidupan masa lalu, sekarang, dan dimasa mendatang, diseberang lautan, atau disekitar kita. Mencatat awal berdirinya Perguruan Islam Nurul ‘Azizi, rasanya perlu menelusuri perjalanan kehidupan dan karir sang pendiri Perguruan ini.
Beliau adalah Hj. Noor Balqis binti Marzuki, yang punya hobby :
- Membaca;
- Menjahit;
- Memelihara tanaman.
Noor Balqis lahir di Bireuen, Aceh, pada tanggal 2 Juli 1948, sebagai anak ke-3 dari Sembilan bersaudara. Ayahnya H. Marzuki Abubakar, yang saat itu sebagai Wedana Bireuen. Adapun ibunya Hj. Fatimah Amin, puteri seorang ulama, Tengku M. Amin Alue, yang bertugas di Kepala Jawatan Agama Aceh. Nama Balqis diambil dari nama neneknya dari pihak ibu. Semasa kecil, keluarga Balqis tinggal dilingkungan tempat tinggal kakeknya dari pihak ayah, yaitu H. Abubakar. Beliau pengusaha multi area dan bahkan pernah menjabat sebagai Gunco (wedana) di masa penjajahan Jepang. H. Abubakar adalah pendiri Sekolah Normal Islamic School yang selalu berdisiplin dan senantiasa tampil prima, menampakkan ciri orang asing dalam penampilannya karena beliau memang memiliki darah Turki dari ayahnya. Bukti sayangnya pada Balqis sudah ditunjukkan kakek sejak usia Balqis 7 hari. Waktu Balqis di Aqiqah kakek memotong 2 ekor kambing layaknya anak laki-laki, padahal untuk kakak dan adiknya yang perempuan hanya 1 ekor kambing sebagaimana tuntunan agama kita. Kakeknya inilah yang banyak memberi motivasi, menginspirasi dan mewarnai kehidupan Balqis berikutnya.
Pada tahun 1950, ayah Balqis pindah ke Jakarta, bertugas di Departemen Luar Negeri. Kepindahan ini membawa seluruh keluarganya (ketika itu berputra empat/1 laki-laki dan 3 putri), kecuali Balqis yang saat itu berusia dua tahun, tidak diizinkan oleh kakeknya ikut pindah ke Jakarta. Wallahu’alam, kenapa saat itu H. Abubakar meminta Balqis bukan cucunya yang laki-laki, untuk tinggal di Bireuen bersama kakeknya. Kehidupan bersama kakek dan nenek, mengajarkan Balqis untuk berdisiplin, rapi dan